Cerita Volunteer: Harapan di Penghujung Desa Kapuas Hulu
13 October 2020

Pulau Kalimantan merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia. Roda kemajuan zaman membawa bumi khatulistiwa ini kian berkembang meskipun masih terdapat beberapa daerah yang tertinggal. Desa Langau merupakan salah satunya, lokasi desa ini berada di ujung Provinsi Kalimantan Barat tepatnya berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Malaysia. Infrastruktur seperti jalan dan listrik di desa tersebut belum lah optimal. Akses jalan untuk menuju ke sana masih berupa jalan berbatu yang dipadatkan dan sumber penerangan berupa listrik yang dihasilkan dari PLTA yang berfungsi kurang optimal, dimana pada saat kemarau dan debit air sungai rendah, dinamo tidak dapat berputar otomatis sehingga arus listrik tidak bisa  disalurkan ke rumah-rumah warga. Jika masyarakat di kota sering mengeluh karena listrik padam padahal hanya beberapa jam saja, saya rasa kita harus belajar banyak bersyukur lagi karena kita bisa menggunakan listrik setiap saat, lain halnya dengan masyarakat yang tinggal di desa terpencil yang belum bisa merasakan terangnya sinar lampu dari listrik negara.

Survei populasi dan okupansi rangkong merupakan kegiatan yang dilakukan oleh Rangkong Indonesia yang fokus meneliti burung rangkong di bentang alam Kapuas Hulu dengan tujuan berupaya melestarikan enggang di Indonesia melalui sains, aksi konservasi secara kolaborasi, pendidikan dan menginspirasi masyarakat Indonesia akan nilai penting dari rangkong serta hutan sebagai habitatnya, sehingga hutan dapat lebih dihargai oleh masyarakat Indonesia yang mendapat manfaat langsung dari rangkong dan hutan.  Survei populasi dan okupansi rangkong kali ini dilakukan di Bukit Melapi yang terletak dibelakang desa Langau Kecamatan Puring Kencana Kabupaten Kapuas Hulu Provinsi Kalimantan Barat. 

Perjalanan dimulai dari rumah kepala dusun Langau yaitu bapak Adam, beliau merupakan seorang yang cukup berpengaruh di Dusun Langau. Dalam kegiatan ini, Rangkong Indonesia juga melibatkan masyarakat yang berperan sebagai porter, pemandu sekaligus pembuka jalan dan juga  tukang masak. Jalan datar perlahan berganti dengan jalur menanjak dan menurun, melewati anak-anak sungai, tanah licin terkadang membuat kami ragu untuk melangkah, namun hal tersebut tak mengurangi semangat dan tekad kami untuk melakukan survei. Saat memasuki kawasan hutan, para anggota survei disuguhkan dengan pemandangan berupa sungai-sungai kecil yang mengalir dari atas Bukit Melapi dan Tutub serta perbukitan indah yang berbatasan langsung dengan negara Malaysia, hal tersebut menjadi obat penyegar dan penyemangat kami setelah melewati jalur yang cukup ekstrim berupa lereng dengan kemiringan 40°-80°. Keseruan candaan dan gurauan warga selama di perjalanan membuat perjalanan tidak membosankan bahkan perjalanan terasa sebentar dan rasa lelah pun tidak terasa. Setelah sampai pada lokasi tujuan kami beristirahat sejenak, lalu tim pun bergegas mendirikan tenda. 

Perjalanan survei okupansi rangkong di Dusun Langau. (RANGKONGID/Jimmi Kurniawan)

Pengambilan data kualitas habitat dan sumberdaya Rangkong dilakukan pada hari kedua dengan komposisi terdiri dari staf peneliti Rangkong Indonesia, mahasiswa volunteer dan masyarakat Desa Langau. Titik pengambilan data tersebut juga menjadi titik pengamatan point count. Selama survei setidaknya tercatat 64 pohon berdiameter >40 cm dan 7 pohon ara (Ficus .sp), sementara perjumpaan Rangkong tercatat 4 jenis yaitu Enggang Cula (Buceros rhinoceros), Enggang Jambul (Berenicornis comatus), Julang Emas (Rhyticeros undulatus), dan Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus). Sayang sekali kami tidak menemukan sang maskot fauna resmi Provinsi Kalimantan Barat yaitu Rangkong Gading (Rhinoplax vigil), hal tersebut terjadi karena lokasi survei merupakan bekas HTI (Hutan Tanaman Industri) PT. 88 yang dimulai sejak tahun 1986-1987. PT ini hanya berjalan satu tahun saja karena perusahaan tersebut mendapatkan IUPHHK HTI dari Kabupaten Sintang sedangkan daerah ini masuk ke dalam wilayah administrasi Kabupaten Kapuas Hulu dan banyak warga yang merasa dirugikan akan kehadiran perusahaan tersebut. Selain itu, meski memiliki vegetasi yang rapat tetapi keberadaan pohon pakan rangkong yaitu pohon ara (Ficus.sp) sangatlah sedikit, sehingga kemungkinan bertemu rangkong gading sangatlah minim.   

Pada proses pengambilan data, kami berusaha mengenalkan mengenai cara ataupun teknis pengamatan burung di lapangan, mulai dari cara mengamati burung menggunakan binokuler, mengambil gambar dengan kamera dan cara mengisi data lapangan ke dalam tally sheet kepada warga. Warga yang ikut menemani pun tak pikir panjang dan langsung mengambil kesempatan yang mereka anggap luar biasa tersebut.  Dalam proses pengenalan ini, warga sangat antusias sekali dan amat senang bisa menggunakan alat-alat penelitian yang kami gunakan saat di lapangan, ada salah seorang warga yang baru belajar menggunakan binokuler, setelah tau cara penggunaannya ia langsung berjalan ke dalam hutan untuk mengamati burung. Saat mengamati burung ia terlihat senang sekali dan menceritakannya kepada kami dan warga lain bahwa ia baru pertama kali ini bisa melihat burung dengan sangat dekat, sampai-sampai ia mengira bahwa binokuler merupakan alat yang dapat merekam apa yang ia lihat tadi. Kami pun tertawa secara bersamaan ketika mendengar cerita tersebut. 

Melihat enggang lebih dekat. (RANGKONGID/INDEKA D PUTRA)

Di waktu senggang, kami mengisinya dengan berdiskusi bersama masyarakat mengenai pentingnya menjaga kelestarian  dari keanekaragaman hayati yang terdapat di desa. Sebenarnya banyak potensi yang terdapat hutan lindung di sini selain burung, reptil maupun mamalia, salah satunya adalah satwa langka yang kami temui pada saat survei yaitu Langur Borneo (Presbytis chrysomelas ssp. cruciger) yang juga dikenal dengan nama Bateh oleh warga lokal Dayak Iban, dimana populasinya terbatas hanya ada Malaysia serta Brunei Darussalam dan di Indonesia sendiri belum lama ini baru ditemukan di Hutan Semujan Taman Nasional Danau Sentarum. Dari temuan tersebut, sangatlah dianjurkan bahwa Desa Langau menjadi daerah khusus untuk konservasi satwa khususnya Langur Borneo. Mengingat bahwa paradigma pengelolaan hutan saat ini adalah pengelolaan hutan yang berbasis kemasyarakatan, maka dalam setiap pengelolaannya haruslah melibatkan masyarakat sehingga didapatkan tujuan yaitu hutan lestari dan masyarakat sejahtera. 

Mengapa penting untuk melindungi satwa? Satwa merupakan salah satu komponen dalam siklus kehidupan manusia dan alam, salah satunya adalah membantu proses penghijauan kembali hutan yang rusak baik secara alami maupun akibat perbuatan manusia. Selain itu, beberapa satwa dapat dijadikan sebagai indikator sehatnya suatu lingkungan. Enggang merupakan salah satu satwa unik yang harus dilestarikan mengingat fungsinya di alam yang sangat besar yaitu melakukan penghijauan dengan menyebarkan benih pepohonan dari kotorannya yang kemudian disebarkan keseluruh hutan, maka dari itu rangkong kerap disebut sebagai “Sang Petani Hutan”. Melindungi serta melestarikan satwa sangatlah penting agar ekosistem hutan tetap seimbang dan generasi di masa depan tetap dapat melihat berbagai jenis satwa  hidup damai di habitatnya, bukan hanya sekedar kisah di masa lalu.

Saya selalu menekankan kepada masyarakat bahwa ketika kita bisa menjaga alam maka alam pun akan menjaga kita. Seseorang pernah mengatakan bahwa “Hutan Adalah Akar Kehidupan, Jika Hutan Rusak Maka Rusak Pula Kehidupan”.  Hal tersebut saya lakukan dengan harapan masyarakat paham dan sadar akan pentingnya hutan, sehingga bisa mandiri dalam menjaga dan melestarikan hutan. Ketika hutan telah berhasil dijaga maka akan banyak manfaat yang didapat oleh masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti desa Manjau di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, desa tersebut mendapat pembayaran bernilai ratusan juta dari jasa lingkungan karena dianggap telah berhasil menjaga dan melestarikan hutan serta berhasil mengurangi degradasi dan deforestasi yang sering terjadi di daerah tersebut. 

Saya sangat bangga dan bersyukur sekali bisa mendapat kesempatan yang luar biasa yaitu menjadi salah seorang volunteer di Rangkong Indonesia, dimana saya bisa mendapat ilmu dan belajar akan banyak hal.  Selain itu, ini merupakan kali pertama saya menginjakkan kaki di tanah Borneo dan masuk ke dalam hutannya.  Untuk mengejar ketertinggalan saya dalam proses menjadi seorang konservasionis, kalau boleh menyebutnya demikian, saya mengikuti kegiatan-kegiatan di bidang konservasi lainnya dan memburu buku-buku dari para konservasionis hebat Indonesia yang saya anggap bisa menjadi rujukan. Upaya ini saya tempuh semata untuk memberikan sebuah penghormatan bahwa mereka sudah berkenan mengabdi maupun berjuang untuk tanah air tercinta Indonesia dan ingin melanjutkan apa yang mereka perjuangkan.

“Yang terpelajar itu justru lahir dari ia yang memang mau banyak belajar,
bukan dari tempat dan seberapa tingginya ia menempuh pendidikan sebagai seorang pelajar”.

 

Penulis: Sarpin Pratama
Editor: Riki Rahmansyah, Mutiara Imanda Yusuf