Ketahanan Pangan Untuk Enggang
03 July 2018

Pakan kesukaan bagi kelompok burung Enggang adalah buah Ara (Ficus spp. Moraceae), ada banyak jenis Ara namun yang paling disukai Enggang adalah Ara dengan ukuran buah besar. Pohon Ara sangat akrab dengan kebudayaan Dayak Iban di Dusun Sungai Utik, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Mereka meyakini adanya roh yang menghuni pohon Ara. “Roh ini disebut juga hantu kara. Hantu-hantu yang mendiami pohon Ara ini bermacam-macam, ada hantu penjaga angin, hujan, tanah, dan air. Itu sebabnya Suku Dayak Iban tidak ada yang berani menebang pohon Ara. Jika menebang pohon Ara, itu artinya mereka mengganggu rumah hantu-hantu penjaga lingkungan” terang Inam selaku Kepala Dusun di Sungai Utik. Ternyata pengetahuan lokal Suku Dayak Iban ini bisa dikaitkan dengan penjelasan ilmiah.

Sebagian besar pohon Ara bersifat hemiefifit, yang memulai hidupnya sebagai efifit pada pohon lain, namun ketika perakarannya mencapai tanah akan mulai mencekik dengan cara membelit pohon inangnya. Jika pohon ini sudah cukup tua akan memiliki banyak cabang batang, sehingga ia memiliki peran sebagai pemecah angin. Pohon Ara juga memiliki laju fotosintesis paling tinggi dibandingkan pohon-pohon lainnya (Pierantoni, 2017) sehingga Ara mampu menyuplai oksigen lebih banyak. Proses transpirasi juga bisa dikaitkan untuk menjaga keseimbangan proses hujan. Selain itu pohon Ara juga memiliki banyak cabang akar yang akan menjaga struktur tanah dan menyimpan cadangan air ketika musim hujan, dan akan mengeluarkan air tersebut ketika musim kemarau.

Masing-masing cabang batang Ara akan menghasilkan buah yang banyak. Antara satu pohon Ara dengan pohon Ara yang lainnya akan berbuah pada bulan yang berbeda, sehingga burung Enggang akan tetap bisa memakan buah kesukaannya sepanjang tahun. Faktor ini yang menyebabkan pohon Ara menjadi pohon kunci (keystone species) untuk satwa-satwa pemakan buah (frugivorus), seperti Burung Enggang (Shanahan et al. 2001). Buah yang matang akan berwarna cerah, seperti merah atau jingga. Jika satu pohon Ara menghasilkan banyak buah, bisa dipastikan di sanalah Enggang dan satwa lain akan menghabiskan waktu untuk memakan buah Ara. Enggang pun berbagi ruang secara vertikal ketika menikmati buah Ara, semakin besar ukuran Enggang akan menempati posisi tajuk pohon paling atas, sementara Enggang yang berukuran kecil akan menempati posisi bagian bawah tajuk.

Sebelum menghampiri pohon Ara, seekor Enggang Cula (Buceros rhinoceros) akan bersuara keras mengirimkan pesan kepada pasanganya, namun sebelum menghampiri pohon Ara, seekor Enggang Cula bertugas untuk mengecek keamanan di sekitar pohon Ara tersebut, karena terkadang ada satwa lain yang bisa mengganggu seperti Klampiau atau Owa. “Biasanya jika di pohon Ara sudah ada Rangkong Gading yang hinggap duluan memakan buah Ara, Enggang jenis lain tidak ada yang berani mengganggu memakan buah Ara yang paling atas” Ungkap Jiram yang senang mengamati perilaku Enggang.

“Buah Ara biasanya akan habis sekitar satu minggu. Setelah habis, buah Ara akan merontokan daun-daunnya dan akan berbuah kembali sekitar 3-4 bulan kemudian” Jelas Yokyok Hadiprakarsa dari Rangkong Indonesia. Yokyok yang sudah lama melakukan penelitian burung sangat memahami karakteristik pohon pakan burung-burung di hutan.

Selain pemahaman lokal mengenai pohon Ara, suku Dayak Iban juga memiliki wawasan tentang bagaimana memprediksi pertumbuhan dan perkembangan Enggang Cula selama masa mengerami. “Kalau mau tahu perkembangan Enggang Cula, kami biasanya melihat tunas-tunas dari bekas biji yang berjatuhan di tanah yang telah dimakan Enggang Cula. Jika yang kita lihat biji baru mengeluarkan jarum tunas berarti anak Enggang Cula baru saja menetas. Jika tunasnya telah memiliki satu daun berarti anak Enggang Cula telah memiliki bulu, sedangkan jika tunas telah memiliki dua sampai tiga daun berarti Enggang Cula sudah mampu terbang” Ujar Jiram berusaha menjelaskan sambil mengatur nafas setelah mendaki bukit untuk mengamati Enggang.

Pengetahuan lokal Suku Dayak Iban ini diperoleh berkat mereka menjaga hutan dan satwanya. Bagi mereka hutan tidak hanya dipandang sebagai aset alam untuk mempertahankan hidup, tapi juga dihargai sebagai ruang untuk mereka mengembangkan pengetahuan lokal. Oleh karena itu, masyarakat Dayak Iban memiliki hak eksklusif untuk memanfaatkan dan mengolah sumber daya alam mereka secara lestari agar mereka tetap berdaya di masa mendatang.