Menangkap Peluang Dengan Konservasi Tajae
10 October 2018

Pagi itu Inam, Saman, dan Julianus, tiga pemuda dayak dari Kampung Utik menyiapkan perahu dan logistik yang akan dibawa ke Hutan Adat Sungai Utik. Mereka menemani Tim Rangkong Indonesia untuk kembali melakukan survey lapangan sebaran burung Tajae atau rangkong gading di hutan adat mereka. Meski debit sungai tidak terlalu deras, perjalanan ke hulu melawan arus menggunakan perahu sangat menantang. Tidak ada yang boleh lengah jika perahu mulai mengarah ke aliran yang agak surut. Kami harus segera turun dan mendorong perahu sampai ke aliran yang agak dalam dan deras. Sesekali perahu berhenti karena ada kayu tumbang melintang di sungai. Beruntung Saman membawa chainsaw dan segera menyingkirkan kayu-kayu yang menghalangi jalan perahu.

Ketika tiba di pondok, rumah di hutan untuk beberapa hari kedepan. Kita tidak perlu khawatir nanti menu makanannya apa dan apakah bisa menikmati makanan di hutan. Saman sudah siap dengan jaring ikannya. Ia pandai menangkap ikan di lubuk-lubuk sungai di sekitar pondok, ikan dari keluarga ikan emas (Cyprinidae) masih umum ditemukan dalam beningnya air sungai. Dengan racikan bumbu yang khas dari hutan, ikan-ikan segar itu menjadi hidangan yang sangat nikmat.

Selama tiga hari di hutan, selain memantau keberadaan rangkong, Tim Rangkong Indonesia juga membantu pemuda utik untuk kembali menggunakan Global Positioning System (GPS). Pada tahun 1998, pemuda Sungai Utik pernah menggunakannya untuk membuat tapal batas desa, namun setelahnya kegiatan itu tidak pernah digunakan lagi. Akibatnya mereka sudah mulai lupa. Harapannya, kedepan mereka dapat menandai lokasi potensi sarang dan pakan rangkong, juga objek-objek penting yang ditemukan selama beraktivitas dalam hutan. Selain penggunaan GPS, pelatihan pemantauan rangkong oleh warga juga mulai diberikan. Harapannya, kedepan mereka bisa melakukannya pemantauan rangkong secara mandiri. Hasil pemantauan ini bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan ekowisata terbatas melihat tajae di alam. Founder Rangkong Indonesia Yokyok Hadiprakasa mengatakan bahwa sudah ada empat orang asing yang mengirim surat elektronik meminta agar diajak melihat sarang burung yang ada Tajae-nya. Tentu ini menjadi peluang bagi warga Utik yang memiliki hutan yang bagus dan masih terdapat Tajae.

Sembari praktek menggunakan GPS, pemuda Utik menandai pohon-pohon besar berdiameter lebih dari 45 cm yang memiliki lubang. Yokyok menjelaskan bahwa pohon-pohon berdiameter besar ini bisa menjadi pohon sarang yang potensial untuk burung rangkong. Berbeda dengan rangkong lainya, Tajae memiliki karakteristik pohon sarang yang khas. Tajae hanya akan bersarang dilubang pohon yang memiliki bonggol atau bekas patahan cabang, fungsinya sebagai tempat hinggap tajae.

Kelestarian hutan adat Sungai Utik merupakan rumah bagi beragam satwa termasuk Tajae. Dengan kelembagaan masyarakat adat yang sudah kuat dan mendapat pengakuan dari banyak pihak, hutan adat Sui Utik bisa terus terjaga. Mereka menyadari bahwa hutan adat ini mempunyai potensi terpendam yang bisa dimanfaatkan. Tentu ini dapat menghindari ancaman dari pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi hutan Sungai Utik yang dapat merusak keberadaan pohon-pohon dan berbagai keanekaragaman hayati yang ada di Hutan Adat Sungai Utik.

Ancaman terhadap keberadaan flora dan fauna di Sungai utik masih kerap dialami, baru-baru ini warga menangkap pemburu yang telah mencuri burung ruai atau Kuau raja (Argusianus argus) . Warga terpaksa menghukum pelaku dengan membayar denda adat senilai Rp 5 jt, karena denda adat belum dibayar, terpaksa warga menyita kendaraan motor pelaku. Warga lebih memilih kasus ini diselesaikan secara adat daripada dibawa ke pihak kepolisian. Mereka merasa hukum adat yang telah ada harus dijalankan, jika tidak dijalankan warga tidak ingin pihak lain berfikir bahwa hukum adat mereka tumpul. Menjalankan hukum adat sama saja menjaga harga diri suku mereka. Warga tidak mau lagi ada kasus pencurian flora fauna yang ada di hutan mereka, oleh karenanya kegiatan pemantuan berkala untuk flora dan fauna harus dilakukan segera.

Meski bulan ini belum memasuki musim buah, tapi masih bisa ditemukan beberapa buah pakan rangkong yang jatuh di lantai hutan. Seperti buah jenis pala-palaan (Myristicaceae) yang menjadi buah kesukaan tajae karena kandungan protein dan lipidnya yang tinggi. Buah ini beraroma khas akan halnya buah pala yang kita kenal, memiliki biji berwarna hitam yang dilapisi seed coat (arillode) berwarna merah menyala. Bagian ini lah yang dimakan oleh rangkong.

Kunjungan ke hutan Sungai Utik ini disempurnakan dengan suara khas Tajae dari kejauhan. Menurut Inam, diperkirakan Tajae itu berada di Bukit Sabang 2 KM dari posisi kami saat itu.